Thursday, April 24, 2014

about Albert Einstein




Albert Einstein: Saya Orang Paling Bodoh di Dunia
Pencerahan bagi Orangtua dari Kisah Para Tokoh yang Mengguncang Bumi
 
Selasa, 31 Desember 2013 - 10:05:36
|
Utama
|
Dibaca : 2388 Kali
 
Intelligence quotient (IQ) yang begitu diagung-agungkan secara kurang tepat oleh sebagian orangtua bahkan pendidik, ironisnya hanya berkontribusi 5 sampai 20 persen saja pada keberhasilan. Lalu apa yang jauh lebih penting dari IQ?

Dra Psi Dwita Salverry MM,
(Psikolog Balikpapan)
 
 
BAYANGKAN Anda memiliki IQ yang tinggi, kategori juara kelas. Namun saat Anda berada di dalam kamar yang terbakar hebat, apakah Anda bisa selamat karena kepintaran Anda jika gugup, bingung dan menjerit-jerit?

Analogi lain, seorang pemain bola yang paling hebat di timnya, apakah menjadi jaminan berhasil menendang bola saat adu penalti dalam laga penentuan juara liga, jika dia terbebani dan merasa gugup dan tidak tenang?

Ya, inilah faktanya. Bahkan dalam beberapa kasus, lebih sering penentu kemenangan adalah pemain yang malah tidak dijagokan.

Saat di lapangan pertandingan, bukan keahlian lagi yang akan menentukan namun bagaimana bekerja sama, saling percaya. Dan kekuatan mental yang menentukan akan bermain bagus atau akan menang atau tidak!

Itulah aspek EQ (emotional quotient/kecerdasan emosi) yang merupakan faktor terpenting dalam kontribusi sebuah keberhasilan.

Tanpa EQ, maka kecerdasan intelektual tidak akan membawa pada prestasi optimal. Mesin mobil (IQ) yang menyala-nyala bahkan dengan tenaga turbo tidak akan selamat dikendarai jika tidak memiliki rem (EQ) yang berfungsi dengan baik.

Saya contohkan lagi lebih nyata.

Anda tentu kenal dengan Thomas Alfa Edison? Sampai saat ini merupakan orang yang memiliki hak paten terbanyak di dunia. Yang paling terkenal adalah penemuan lampu listrik. Tahukah Anda bahwa Edison ini pernah dikeluarkan dari sekolah dasar karena gurunya menganggap dia bodoh dan tidak bisa mengikuti pelajaran? Ya, itulah faktanya.

Edison akhirnya menemukan lampu listrik setelah melakukan ribuan kali percobaan. Bahkan dalam salah satu percobaan, terjadi ledakan sehingga telinganya tuli.

Lalu, kenalkah Anda dengan Napoleon Bonaparte? Panglima perang yang berhasil membawa kemenangan luar biasa yang diakui seluruh dunia. Untuk Anda ketahui, dia adalah anak yang lahir dari orangtua kelas bawah di negaranya. Saat masuk akademi militer, dia juga tak jago-jago amat, hanya peringkat 46 dari 64 peserta.

Lantas kenalkah Anda dengan Beethoven? Yang musik klasiknya mendunia dan diakui kehebatannya sampai sekarang. Bahkan musik yang diciptakannya dipercaya dunia kedokteran bisa meningkatkan IQ anak jika diperdengarkan secara rutin pada ibu-ibu hamil. Di balik kehebatan itu semua, tahukah Anda jika Beethoven ini sebenarnya tuli?

Bisa disimpulkan, tokoh-tokoh yang saya contohkan tadi tidaklah termasuk kategori orang-orang pintar jika dilihat dari IQ-nya. Namun apa yang sudah dihasilkannya sangat luar biasa. Jika kita melihat diri sampai titik umur saat ini, apa yang sudah kita hasilkan dan memberi manfaat pada orang lain? Pada dunia? Atau minimal pada orang-orang yang kita cintai?

Rasanya kita lebih beruntung lahir dari orangtua yang masih bisa memberi makan dan menyekolahkan tanpa harus jualan koran di jalan seperti Thomas Alfa Edison. Tubuh dan fisik kita sempurna dan bahkan mempunyai sangu yang cukup saat berangkat sekolah. Sangat berbeda dengan kisah tokoh-tokoh tadi dengan segala kekurangannya.

Lalu apa yang sama di antara mereka, sehingga mereka punya energi luar biasa untuk mencapai semua keberhasilan itu, bahkan melebihi orang-orang yang berperingkat di atasnya? Apa yang memberi mereka stamina untuk mengatasi kekurangan mereka?

Mereka tahu kuncinya. Yakni untuk mengubah hidup ini harus mengembangkan sikap hidup positif, menentukan tujuan yang akan mengarahkan kehidupan mereka lebih baik dan menguatkan keyakinan dalam diri bahwa mereka akan berhasil!

Itulah sebabnya saat Thomas Alfa Edison menjadi tuli akibat ledakan saat mencoba menemukan lampu listrik, dia tetap tenang. Saat orang-orang bahkan keluarga meminta Edison untuk berhenti karena dianggap gagal, dia menjawab dengan tenang.

“Saya bersyukur saya tuli karena saya jadi tidak perlu lagi mendengar semua kata-kata yang malah mengganggu semangat saya untuk berhasil,” jawab Edison. Luar biasa.

Dan saat masih mengalami ribuan kegagalan, makin begitu banyak orang bertanya apa yang membuat Edison masih begitu yakin akan berhasil. Dia lantas menjawab singkat.

“Yang mana kegagalan? Bagi saya, ribuan kali percobaan itu bukanlah kegagalan. Namun itu adalah ribuan cara yang jangan dilakukan lagi jika ingin berhasil!,” sebutnya.

Lihat bagaimana positifnya sikap Edison. Bagaimana dengan kita? Berapa kali Anda berani mencoba untuk sebuah keberhasilan? Jangankan lebih hitungan jari, bahkan banyak di antara kita yang tidak pernah berhasil karena tidak pernah berani mencoba. Penyebabnya satu: takut gagal.

Kemudian sudahkah Anda punya tujuan hidup? 5 tahun lagi, 10 tahun lagi, bahkan apa yang ingin Anda capai sebelum mati?

Tanpa tujuan yang jelas, kita tidak akan terarahkan ke mana pun. Sejauh apapun kita melangkah, tanpa tujuan jelas maka tidak akan sampai di mana-mana!
Tanpa arah yang jelas dan sikap positif sebagai staminanya, maka tidak akan pernah memiliki keyakinan untuk berhasil.

Bagaimana dengan Anda?

Anda tentu kenal juga dengan Albert Einstein. Sampai saat ini masih menjadi tokoh genius dunia. Dialah yang menemukan bom atom dan teori relativitas. Saat itu Einstein begitu bangga disebut sebagai orang paling pintar di dunia.

Otak Einstein bahkan masih tersimpan sebagai bukti sangat banyaknya sambungan sinaptik karena perkembangan “mesin IQ”-nya. Namun saat bom atom digunakan untuk menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki (Jepang) oleh Amerika, Einstein sangat terpukul dan mengatakan penyesalan. “Saya adalah orang yang paling bodoh di dunia!,” sebutnya.

Itulah saat titik balik Einstein meletakkan keagungan IQ dan menyadari bahwa EQ lah yang akan menggerakkan dan mengoptimalkan kegeniusan IQ yang diberkati Tuhan pada setiap anak manusia.

Nah kembali ke anak-anak kita, sebelum terlambat.

Setelah mengetahui mesin IQ terbaik dari anak-anak kita, marilah optimalkan dengan mengembangkan EQ-nya.

Jika anak lemah dalam logika matematika, sementara di sekolah formal mewajibkan mata pelajaran ini, maka jangan paksa anak untuk mencapai hasil terbaik menurut cara kita.

Namun bimbinglah dia dengan cara sesuai karakternya. Apakah dia tekun, apakah dia belajar dengan cara bermain dan cerita, apakah dengan cara dinyanyikan dan lainnya. Sehingga dia belajar matematika dengan senang dan gembira.

Hargailah setiap usaha anak, berilah pujian akan setiap keberhasilannya dan jangan beri hukuman pada kegagalannya. Jangan bandingkan hasil buruknya dengan orang lain namun bandingkanlah dengan prestasi terbaiknya yang pernah dicapainya.

Bila 6 atau 7 adalah nilai yang terbaik dia capai dengan upaya maksimalnya, maka banggalah dan katakanlah pada anak bahwa kita bangga dengan hasilnya itu. Inilah yang merupakan dasar pembentukan karakter anak untuk memupuk EQ nantinya.

Seberapa sering Anda tulus memuji anak akan sikap positifnya? Seberapa sering Anda bangga pada kemampuan anak yang bukan menjadi favorit dan keinginan Anda?

Berapa sering Anda memotong pendapat anak karena tidak sesuai dengan pendapat Anda?

Anda yang berperan dalam pembentukan EQ buah hati. So, anak terlahir suci! Dalam psikologi disebut teori tabula rasa, anak seperti kertas putih, warna-warni apa yang akan terlukis dan terpandang di sana tergantung warna apa yang Anda berikan pada si buah hati.

Jika anak-anak bermasalah, maka bisa dipastikan orangtuanya bermasalah karena mereka pembentuk karakter anak.

Jadi, selama buah hati masih pada usia anak-anak, marilah kita introspeksi diri dan mau ikhlas menyadari apa yang sudah kita lakukan selama ini pada mereka.

Jangan banyak menuntut jika kita pun belum berbuat yang tepat. Maukah kita mengakui seberapa banyak ketidaktepatan dalam mendidik dan mengasuh anak? Sadarkah kita, jangan-jangan secara tidak sadar membangun monster dalam diri anak.

Anak kita tidak pernah salah dalam perkembangan sampai remaja, karena sesuai dengan “tugas” perkembangan mereka, memang akan membentuk karakter berdasarkan stimulus yang diterimanya.

Dalam hidup, kekuatan karakter atau dikenal dengan kepribadian yang matang atau kecerdasan emosilah yang lebih penting kita kembangkan. Daripada terlalu mengagungkan IQ atau kecerdasan intelektual yang sebenarnya oleh Allah telah dibagikan pada setiap anak.

Jadi mesin otak mana pun yang paling genius pada anak kita, baru akan berkembang menjadi kecerdasan baginya jika didukung oleh sikap positif, punya semangat, bisa bekerja sama dengan orang lain, dan percaya diri. Itulah yang harus kita kembangkan sebagai dasar pembentukan konsep diri. Bagaimana pendapat Anda? (***/penulis adalah pemerhati anak, seorang psikolog dari Jasa Psikologi Clarinta Balikpapan/che/k7)

No comments:

Post a Comment