Intelligence quotient (IQ) yang begitu diagung-agungkan
secara kurang tepat oleh sebagian orangtua bahkan pendidik, ironisnya
hanya berkontribusi 5 sampai 20 persen saja pada keberhasilan. Lalu apa
yang jauh lebih penting dari IQ?
Dra Psi Dwita Salverry MM,
(Psikolog Balikpapan)
BAYANGKAN Anda memiliki IQ yang tinggi, kategori
juara kelas. Namun saat Anda berada di dalam kamar yang terbakar hebat,
apakah Anda bisa selamat karena kepintaran Anda jika gugup, bingung dan
menjerit-jerit?
Analogi lain, seorang pemain bola yang paling hebat di timnya, apakah
menjadi jaminan berhasil menendang bola saat adu penalti dalam laga
penentuan juara liga, jika dia terbebani dan merasa gugup dan tidak
tenang?
Ya, inilah faktanya. Bahkan dalam beberapa kasus, lebih sering penentu kemenangan adalah pemain yang malah tidak dijagokan.
Saat di lapangan pertandingan, bukan keahlian lagi yang akan
menentukan namun bagaimana bekerja sama, saling percaya. Dan kekuatan
mental yang menentukan akan bermain bagus atau akan menang atau tidak!
Itulah aspek EQ (emotional quotient/kecerdasan emosi) yang merupakan faktor terpenting dalam kontribusi sebuah keberhasilan.
Tanpa EQ, maka kecerdasan intelektual tidak akan membawa pada prestasi
optimal. Mesin mobil (IQ) yang menyala-nyala bahkan dengan tenaga turbo
tidak akan selamat dikendarai jika tidak memiliki rem (EQ) yang
berfungsi dengan baik.
Saya contohkan lagi lebih nyata.
Anda tentu kenal dengan Thomas Alfa Edison? Sampai saat ini merupakan
orang yang memiliki hak paten terbanyak di dunia. Yang paling terkenal
adalah penemuan lampu listrik. Tahukah Anda bahwa Edison ini pernah
dikeluarkan dari sekolah dasar karena gurunya menganggap dia bodoh dan
tidak bisa mengikuti pelajaran? Ya, itulah faktanya.
Edison akhirnya menemukan lampu listrik setelah melakukan ribuan kali
percobaan. Bahkan dalam salah satu percobaan, terjadi ledakan sehingga
telinganya tuli.
Lalu, kenalkah Anda dengan Napoleon Bonaparte? Panglima perang yang
berhasil membawa kemenangan luar biasa yang diakui seluruh dunia. Untuk
Anda ketahui, dia adalah anak yang lahir dari orangtua kelas bawah di
negaranya. Saat masuk akademi militer, dia juga tak jago-jago amat,
hanya peringkat 46 dari 64 peserta.
Lantas kenalkah Anda dengan Beethoven? Yang musik klasiknya mendunia
dan diakui kehebatannya sampai sekarang. Bahkan musik yang diciptakannya
dipercaya dunia kedokteran bisa meningkatkan IQ anak jika
diperdengarkan secara rutin pada ibu-ibu hamil. Di balik kehebatan itu
semua, tahukah Anda jika Beethoven ini sebenarnya tuli?
Bisa disimpulkan, tokoh-tokoh yang saya contohkan tadi tidaklah
termasuk kategori orang-orang pintar jika dilihat dari IQ-nya. Namun apa
yang sudah dihasilkannya sangat luar biasa. Jika kita melihat diri
sampai titik umur saat ini, apa yang sudah kita hasilkan dan memberi
manfaat pada orang lain? Pada dunia? Atau minimal pada orang-orang yang
kita cintai?
Rasanya kita lebih beruntung lahir dari orangtua yang masih bisa
memberi makan dan menyekolahkan tanpa harus jualan koran di jalan
seperti Thomas Alfa Edison. Tubuh dan fisik kita sempurna dan bahkan
mempunyai sangu yang cukup saat berangkat sekolah. Sangat berbeda dengan
kisah tokoh-tokoh tadi dengan segala kekurangannya.
Lalu apa yang sama di antara mereka, sehingga mereka punya energi luar
biasa untuk mencapai semua keberhasilan itu, bahkan melebihi
orang-orang yang berperingkat di atasnya? Apa yang memberi mereka
stamina untuk mengatasi kekurangan mereka?
Mereka tahu kuncinya. Yakni untuk mengubah hidup ini harus
mengembangkan sikap hidup positif, menentukan tujuan yang akan
mengarahkan kehidupan mereka lebih baik dan menguatkan keyakinan dalam
diri bahwa mereka akan berhasil!
Itulah sebabnya saat Thomas Alfa Edison menjadi tuli akibat ledakan
saat mencoba menemukan lampu listrik, dia tetap tenang. Saat orang-orang
bahkan keluarga meminta Edison untuk berhenti karena dianggap gagal,
dia menjawab dengan tenang.
“Saya bersyukur saya tuli karena saya jadi tidak perlu lagi mendengar
semua kata-kata yang malah mengganggu semangat saya untuk berhasil,”
jawab Edison. Luar biasa.
Dan saat masih mengalami ribuan kegagalan, makin begitu banyak orang
bertanya apa yang membuat Edison masih begitu yakin akan berhasil. Dia
lantas menjawab singkat.
“Yang mana kegagalan? Bagi saya, ribuan kali percobaan itu bukanlah
kegagalan. Namun itu adalah ribuan cara yang jangan dilakukan lagi jika
ingin berhasil!,” sebutnya.
Lihat bagaimana positifnya sikap Edison. Bagaimana dengan kita? Berapa
kali Anda berani mencoba untuk sebuah keberhasilan? Jangankan lebih
hitungan jari, bahkan banyak di antara kita yang tidak pernah berhasil
karena tidak pernah berani mencoba. Penyebabnya satu: takut gagal.
Kemudian sudahkah Anda punya tujuan hidup? 5 tahun lagi, 10 tahun lagi, bahkan apa yang ingin Anda capai sebelum mati?
Tanpa tujuan yang jelas, kita tidak akan terarahkan ke mana pun.
Sejauh apapun kita melangkah, tanpa tujuan jelas maka tidak akan sampai
di mana-mana!
Tanpa arah yang jelas dan sikap positif sebagai staminanya, maka tidak akan pernah memiliki keyakinan untuk berhasil.
Bagaimana dengan Anda?
Anda tentu kenal juga dengan Albert Einstein. Sampai saat ini masih
menjadi tokoh genius dunia. Dialah yang menemukan bom atom dan teori
relativitas. Saat itu Einstein begitu bangga disebut sebagai orang
paling pintar di dunia.
Otak Einstein bahkan masih tersimpan sebagai bukti sangat banyaknya
sambungan sinaptik karena perkembangan “mesin IQ”-nya. Namun saat bom
atom digunakan untuk menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki (Jepang) oleh
Amerika, Einstein sangat terpukul dan mengatakan penyesalan. “Saya
adalah orang yang paling bodoh di dunia!,” sebutnya.
Itulah saat titik balik Einstein meletakkan keagungan IQ dan menyadari
bahwa EQ lah yang akan menggerakkan dan mengoptimalkan kegeniusan IQ
yang diberkati Tuhan pada setiap anak manusia.
Nah kembali ke anak-anak kita, sebelum terlambat.
Setelah mengetahui mesin IQ terbaik dari anak-anak kita, marilah optimalkan dengan mengembangkan EQ-nya.
Jika anak lemah dalam logika matematika, sementara di sekolah formal
mewajibkan mata pelajaran ini, maka jangan paksa anak untuk mencapai
hasil terbaik menurut cara kita.
Namun bimbinglah dia dengan cara sesuai karakternya. Apakah dia tekun,
apakah dia belajar dengan cara bermain dan cerita, apakah dengan cara
dinyanyikan dan lainnya. Sehingga dia belajar matematika dengan senang
dan gembira.
Hargailah setiap usaha anak, berilah pujian akan setiap
keberhasilannya dan jangan beri hukuman pada kegagalannya. Jangan
bandingkan hasil buruknya dengan orang lain namun bandingkanlah dengan
prestasi terbaiknya yang pernah dicapainya.
Bila 6 atau 7 adalah nilai yang terbaik dia capai dengan upaya
maksimalnya, maka banggalah dan katakanlah pada anak bahwa kita bangga
dengan hasilnya itu. Inilah yang merupakan dasar pembentukan karakter
anak untuk memupuk EQ nantinya.
Seberapa sering Anda tulus memuji anak akan sikap positifnya? Seberapa
sering Anda bangga pada kemampuan anak yang bukan menjadi favorit dan
keinginan Anda?
Berapa sering Anda memotong pendapat anak karena tidak sesuai dengan pendapat Anda?
Anda yang berperan dalam pembentukan EQ buah hati. So, anak terlahir
suci! Dalam psikologi disebut teori tabula rasa, anak seperti kertas
putih, warna-warni apa yang akan terlukis dan terpandang di sana
tergantung warna apa yang Anda berikan pada si buah hati.
Jika anak-anak bermasalah, maka bisa dipastikan orangtuanya bermasalah karena mereka pembentuk karakter anak.
Jadi, selama buah hati masih pada usia anak-anak, marilah kita
introspeksi diri dan mau ikhlas menyadari apa yang sudah kita lakukan
selama ini pada mereka.
Jangan banyak menuntut jika kita pun belum berbuat yang tepat. Maukah
kita mengakui seberapa banyak ketidaktepatan dalam mendidik dan mengasuh
anak? Sadarkah kita, jangan-jangan secara tidak sadar membangun monster
dalam diri anak.
Anak kita tidak pernah salah dalam perkembangan sampai remaja, karena
sesuai dengan “tugas” perkembangan mereka, memang akan membentuk
karakter berdasarkan stimulus yang diterimanya.
Dalam hidup, kekuatan karakter atau dikenal dengan kepribadian yang
matang atau kecerdasan emosilah yang lebih penting kita kembangkan.
Daripada terlalu mengagungkan IQ atau kecerdasan intelektual yang
sebenarnya oleh Allah telah dibagikan pada setiap anak.
Jadi mesin otak mana pun yang paling genius pada anak kita, baru akan
berkembang menjadi kecerdasan baginya jika didukung oleh sikap positif,
punya semangat, bisa bekerja sama dengan orang lain, dan percaya diri.
Itulah yang harus kita kembangkan sebagai dasar pembentukan konsep diri.
Bagaimana pendapat Anda? (***/penulis adalah pemerhati anak, seorang psikolog dari Jasa Psikologi Clarinta Balikpapan/che/k7)
No comments:
Post a Comment